My Simple Story..

Yeah I’m Andres
Bruk!
Andres melemparkan tasnya ke lantai dan duduk di sofa. Wajahnya nampak masam. “Pokoknya Andres harus dibeliin tas baru. TITIK.” Mama menghampiri Andres dan mengelus-elus rambut merah Andres. “Sayang, tas kamu baru beli minggu lalu di New York. Ingatkan? Papa yang membelikan untukmu. Jadi menurut Mama, kamu pakai saja itu. Kalau beli-beli terus nanti mubazir.” Andres mendepak tangan Mama dirambutnya. “Apa? Nggak mau! Harus beli yang baru. Mama tahu nggak? Daniel anaknya Om Ivan yang bawahannya Papa itu, punya tas baru yang beli di Paris. Masak aku kalah sama Daniel sih, Ma?” Anak laki-laki berambut merah itu mengguncang-guncang bahu Mamanya. Namun si Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia pun berlari menuju tangga dan berteriak “Kalau Mama nggak beliin Andres tas baru... Andres mau pergi dari rumah!” Brak! Pintu kamar dibanting dengan keras.
Yaaa...
Itulah Andres. Pikir Mamanya. Andres Satria namanya. Ia bersekolah di Indonesian Smart School, Jakarta. Sekarang ia duduk di kelas enam. Andres adalah anak yang sangat manja. Begitulah pendapat teman-temannya. Selain manja, Andres sangat sombong dan suka memamerkan kekayaannya serta liburan-liburannya di luar negeri.
“Aku harus berhasil bikin hati Mama luluh!” katanya saat menghadapkan dirinya dicermin. “Sekarang aku mau ke rumah Nick saja. Mama kan tidak tahu nomor rumah Nick. Hihi..” Andres keluar kamar. Ia berjalan menyusuri tangga. Sesampainya di ruang tamu, tak ada Mama. Andres sangat kesal karena Mama tak mencegahnya. Ia berlari menuju gerbang depan. Ditoleh rumah cat putih megah yang dia bangga-banggakan itu. Namun Mama tak kunjung keluar untuk mencegahnya pergi. Andres pun berlari dan terus berlari sambil menangis. Sesampainya di halte bus, Andres menelpon Nick...
Nick, kamu ada dirumahkan sekarang?” tanya Andres. “Iya.. ada apa, Andres?” jawab Nick dari ujung telepon disana. “Bisa kan menjemputku di halte bus dekat rumahku?” tanya Andres lagi. “Aku jemput kamu di rumahmu saja.” sahut Nick. “Jangan! Aku sedang di halte bus. Pokoknya jangan ke rumah! Ke halte bus saja.” Dengan kencang Andres menolak. “Oh, ya. OK. Tunggulah 15 menit!” kata Nick singkat.
Tut Tut Tut...... Dari ujung sana, telepon dimatikan.
Andres menunggu Nick sambil terkantuk-kantuk. Maklum, biasanya pemuda itu tidur siang setelah disuapi Mamanya. Bisa dilihatkan? Ia sangat manja. Terkadang Nick merasa kasihan dengan tante Via. Menurut Nick, tante Via bukan orang yang sombong seperti Andres. Nick saja sangat malas berteman dengan Andres. Namun tante Via meminta Nick untuk tetap menjadi teman Andres, karena di ISS (Indonesian Smart School) sudah tidak ada lagi yang mau berteman Andres. Bahkan untuk menyapa pun mereka tidak sudi. Akhirnya dengan terpaksa... Nick pun setuju.
“Eh, bangun! Kok bisa sih kamu ketiduran di halte bus? Bisa hilang kamu!” Nick mengguncang-guncang bahu Andres. “Payah! Kamu lama banget! Udah, sekarang masuk mobil saja.” Jawab Andres dengan angkuh. Dengan gontai, Nick berjalan menuju mobil merahnya. Dalam hati, Nick merasa sangat tidak dihargai. Selama ini Andres selalu memperlakukannya seperti itu. Ia ingin marah. Sangat ingin sekali. Namun ia selalu ingat pesan Mama Andres. Tapi semakin lama, Andres semakin menginjak-injak harga dirinya. Seakan semua yang dimiliki Nick adalah kepunyaan Andres.
Seperti saat ini... tiba-tiba saja Andres nyelonong masuk ke mobil Nick dan menyalakan AC serta memakai bantal mobil kesayangan Nick. Padahal ia bukan pemilik mobil itu. Kesabaran Nick sudah habis. Ia menyeret Andres keluar dari mobil.
Eh, apa-apaan kamu?” tanya Andres melepas cengkeraman Nick. “Eh Andres! Kamu jangan sombong-sombong dong! Kamu itu bukan superhero, artis, atau pejabat! Kenapa kamu suka menginjak-injak harga diri orang lain? Aku benci kamu!” jawab Nick memberanikan diri.
Hah? Eh, kamu beruntung ya punya teman sekaya aku. Aku juga selalu membelikan barang-barang yang kamu suka. Jadi jangan coba-coba menasehatiku!”
Eh, kamu yang seharusnya bersyukur. Tidak ada satu orang pun yang mau bermain denganmu. Hanya aku. Dan kamu tahu kenapa aku mau main denganmu? Itu pun karena Mamamu yang menyuruhku. Sadarlah Andres! KAMU BUKAN APA-APA TANPA ORANGTUAMU! ”
Nick mendorong Andres hingga terjerembap di tanah. Mobil sedan merah milik Nick mulai berjalan dan hilang ditelan jalan.
Andres menangis. Menangis sendirian di trotoar. Ia menangis karena ucapan Nick... Eh, kamu yang seharusnya bersyukur. Tidak ada satu orang pun yang mau bermain denganmu. Hanya aku. Dan kamu tahu kenapa aku mau main denganmu? Itu pun karena Mamamu yang menyuruhku. Bersyukurlah kamu! Sadarlah Andres! KAMU BUKAN APA-APA TANPA ORANGTUAMU!... kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Andres ingin pulang dan menangis dibawah ketiak Mama. Tapi ia masih tetap gengsi dan angkuh. Ia memutuskan untuk berjalan terus. Hari semakin sore. Tapi Andres tidak ingin pulang. Ia terus berjalan dan menendangi semua batu yang menghalangi jalannya. Ia semakin lemas karena belum makan siang.
Tiba-tiba terdengar suara klakson dari arah belakang. Sebuah mobil datang dengan kecepatan diatas rata-rata dan menabrak kaki kiri Andres. Awwhhh! Andres terjatuh. Rupanya ia diserempet. Namun sopir mobil itu tidak berhenti menolongnya. Mobil itu malah berjalan terus dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Keadaan tubuh Andres semakin buruk saja. Ia lemas dan hampir pingsan karena belum makan. Namun dari arah yang sama, seorang anak laki-laki sebaya dengannya datang dan berteriak minta tolong. Saat itulah mata Andres terpejam. Kata terakhir yang didengarnya adalah Tolong! Siapapun tolong anak ini!...
Andres berdiri di tengah-tengah lapangan sekolahnya. Ia melihat teman-teman mengelilinginya. Andres ingin bangkit berdiri dan berlagak sombong didepan mereka semua. Tapi saat ia mencoba berdiri, ia terjatuh. Sepertinya kakinya diikat, begitu juga tangannya. Andres ingin protes, namun seseorang maju mendekatinya. “Sedang apa Andres? Mencoba bangun? Oh, malang sekali. Kamu tahu? Kami ingin membunuhmu. Menginjak-injak harga dirimu. Seperti ini!” Sang gadis menginjak dada Andres. Memelototinya dengan tajam. Andres menangis. “Bagaimana teman-teman? Cukupkah ini? Apa kita akan melepaskannya?” Si gadis melenggangkan kedua tangannya dipinggang dan menatap rendah ke mata Andres, layaknya seorang juara. Sementara Andres yang bertampang melas menatap semua orang. Kali ini bukan tatapan angkuhnya, melainkan tatapan memohon. Lebih tepatnya memohon untuk dibebaskan. HAHAHAHAHAHA! Semua orang tertawa bergemuruh. Salah satu dari mereka berkata “Bakar dia! Bunuh dia! Dia tidak pantas berada disini! Dia hanya pecundang! Tanpa orangtuanya, dia bukanlah apa-apa.” Yang lain meneriaki hal yang sama. Andres menangis dan berteriak Tidakk!
Tiba-tiba saja keringat bercucuran membalut wajahnya. Ia terjaga dari tidurnya. Hanya mimpi... batinnya. Saat ia melihat ke sekeliling, tidak ada satu orang pun. Tidak ada Mama, Nick atau orang lain yang dikenalnya. Bahkan ruangan itu pun Andres tidak mengenalnya. “Di mana ini?” Dengan panik Andres berusaha bangun. Namun kakinya terasa sulit digerakkan. “Jangan banyak bergerak dulu. Kakimu masih butuh banyak istirahat, bukan?” seorang anak laki-laki masuk dan membawakan teh yang nampaknya masih hangat. Andres buru-buru mundur mendekat ke dinding ruangan dan mengamati anak laki-laki didepannya. Ya... dia terlihat baik, tapi dandanannya lusuh sekali... batinnya lagi.
Siapa namamu?” tanya Andres. “Eh, aku Dion. Kamu?” Andres menjawab “Andres Satria. Panggil saja Andres. Kenapa bisa aku berada di tempat ini bersamamu?” tanya Andres sambil memandang keluar jendela. Seperti mengamati lingkungan sekitar ia berada. “Ya... Mudah saja. Aku menolongmu saat kamu diserempet mobil. Badanmu panas. Aku membawamu ke klinik sekitar. Kamu mendapat dua jahitan. Aku menidurkanmu di sini. Ingat?” Andres hanya terbengong-bengong. “Oh... Ya. Em, mana orangtuamu?” Si anak yang ditanya hanya melongo. Lalu ia tertawa kecil. “Aku tidak punya orangtua. Inilah rumahku. Mungkin kalau kamu melihat keluar, kamu bisa tahu ini tempat apa.” Jawab Dion tersenyum dan memandang ke jendela. “Kalau begitu, bantulah aku berjalan keluar!” dengan kasar Andres memerintah Dion. Sepertinya ia masih belum jera juga. Dion membantu Andres keluar ruangan.
Saat pintu dibuka...
Matahari menerka wajah Andres yang putih. Banyak anak bertampang seperti Dion yang berlalu-lalang. Andres memutar badannya dan melihat ke sekeliling. Ditengah-tengah ada pohon besar namun tak tampak seram. Dion menjelaskan ini adalah salah satu daerah pemukiman kumuh di Jakarta. Di sekelilingnya terdapat rumah-rumah seperti rumah Dion. Terbuat dari tripleks. Andres berjalan mundur selangkah demi selangkah. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mereka tinggal sendiri? Tanpa orangtua? Mana bisa?... pikir Andres. Bruk! Tak sengaja Andres menabrak sesuatu dibelakangnya. Kelihatannya ia menabrak seorang gadis sebaya dengannya yang sedang membawa banyak buku. Sang gadis memunguti buku-buku itu sendiri. Andres hanya berdiri angkuh sambil menyilangkan kedua tangannya. Saat si gadis berdiri dan menatapnya, jantung Andres seperti mau melompat dari ketinggian 20 meter. Si gadis ternyata adalah gadis yang menginjak dadanya di mimpi! Wajah Andres pucat pasi. “Kenapa kamu? Maafkan aku sudah menabrakmu. Perkenalkan, aku Alfi.” Si gadis menyodorkan tangannya. Andres hanya bengong seperti tak menyadarinya. “Eh, oh.. Iya, Alfi. Em, aku Andres. Kamu tidak apa-apa?” Alfi tersenyum. “Ya.. seperti yang kamu lihat.” Mereka saling bertatapan lama sekali. Dalam benak Andres, ia tidak mengira bahwa Alfi akan sebaik ini dengannya, padahal di dalam mimpi Andres, Alfi sangat mengerikan. Setelah Andres dan Alfi berbincang-bincang cukup banyak, Dion memanggil mereka untuk makan malam.
Andres masuk ke kamar Dion. Sementara yang lainnya masih mengobrol diluar. Andres merasa kasihan kepada kehidupan mereka. Ya... sebenarnya tidak seratus persen kasihan. Lebih tepatnya, antara kasihan dan takjub. Apalagi setelah Dion dan Alfi menceritakan kepadanya bahwa mereka sudah menjalani kehidupan seperti ini selama satu tahun. Mereka tidak bersekolah. Mereka mencari buku-buku asongan atau kertas-kertas yang masih berisi pengetahuan untuk belajar. Saat Andres bertanya “Apa kalian punya video game atau mobil dan remote control?” semua orang langsung tertawa terbahak-bahak. “Kamu polos sekali, Andres. Kita hanya punya mainan tradisional. Atau boneka usang. Haha..” jawab Alfi dengan santai.
Sampai malam ini, Andres masih memikirkan jawaban Alfi. Tiba-tiba saja ia teringat dengan mainan-mainan yang tadi siang dibawanya dari rumah. Andres segera membuka isi tasnya dan mengeluarkan semua mainan itu. Ia membawanya keluar rumah. “Hei, semuanya! Aku punya mainan untuk kalian! Ini akan sangat seru!” Andres beraksi di tengah-tengah kerumunan orang dan memainkan mobil-mobilan dengan remote controlnya. Mobil kecil itu melesat diantara kaki-kaki yang berjejeran mengelilingi Andres. Semua orang bertepuk tangan. Sampai larut ia mengajari teman-teman barunya bermain mobil remote control ataupun merangkai robot.
Puff! Andres berbaring ditempat tidurnya. Menatap langit-langit. Entah kenapa ia merasa sangat senang. Ia tidak pernah sebahagia ini dnegan teman-temannya. Andres memejamkan matanya sambil mengingat-ingat senyum dan tawa riang semua orang saat mereka bermain bersama. Ia pun terlelap.
Matahari menerawang lewat luar jendela. Ia segera melirik jam tangannya. Setengah tujuh. harus segera pulang!... pikirnya. Ia melangkah keluar dan membasuh muka di keran air. Tidak ada orang. Kenapa sepi sekali? Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya. “Andres! Kamu sudah bangun? Aku diatas sini. Kemarilah!” suara Dion. Ternyata semua orang berada di atas pohon. Itu bukan pohon biasa. Itu adalah rumah pohon. Sekitar sembilan anak berada diatas sana. Mungkin yang lainnya masih tidur.
Andres naik ke atas pohon dengan susah payah. Maklum, ia anak kota yang manja dan tidak suka kotor. “Sedang apa kalian disini?” Andres memandang ke bawah. Tidak terlalu tinggi sepertinya... pikir Andres. “Ini tempat kami belajar. Kami belajar dari pukul enam sampai sembilan pagi.” jelas Dion. “Oh, lalu?” Andres melihati satu per satu buku yang sedang dibaca semua orang di rumah pohon. “Bekerja. Mengamen.” Dengan santai Alfi mengucapkannya. Andres terdiam. Tidak punya pertanyaan. Hanya mengedip-edipkan kedua matanya. Salah satu anak memecah keheningan. “Aku mau membeli sepatu dan buku baru. Mungkin dua kali ngamen lagi, aku akan mendapatkan cukup uang untuk membelinya. Hehe...” semuanya tertawa dan melanjutkan membaca. Andres duduk diujung pohon. Ia ingat saat ia merengek-rengek ke Mama untuk minta tas baru. Air matanya menetes. Ia ingat Mamanya. “Kamu nggak sekolah, eh?” Alfi duduk disamping Andres. Andres memalingkan muka dan mengusap air matanya. “Sebentar lagi aku pulang. Aku sekolah jam delapan pagi.” Alfi mengangguk dan melanjutkan membacanya di tempat semula. Andres menghampiri Dion di pojok. “Eh, bisa antar aku ke tempat kamu menemukanku waktu aku jatuh pingsan?” Dion memandangi cukup lama. “Ya, bisa. Kamu mau pulang?” wajah Dion seperti kecewa. “Iya, Dion. Aku harus sekolah. Kapan-kapan aku akan berkunjung kesini. Pakai saja mainanku untuk teman-temanmu.”
Dion dan Andres berpisah di jalan Semanggi. Andres bergegas pulang. Dari taman depan ia mendengar suara Mama menangis. “Ehm... Assalamu’alaikum. Aku pulang.” Andres bertampang biasa seperti tidak terjadi apa-apa. “Andres! Kamu ke mana saja? Di rumah Nick tidak ada. Di rumah yang lain pun juga tidak ada.”
Akhirnya Andres menceritakan semuanya kepada Mama. Ia sangat ingin membantu teman-temannya di rumah pohon. Begitulah Andres menyebutnya. Ia ingin meminjamkan buku-buku koleksi miliknya untuk Dion dan semuanya disana. “Ma, Andres minta maaf ya! Andres sayang sekali sama Mama. Andres nggak akan mengecewakan Mama lagi. Andres sadar kalau perbuatan Andres sangat tidak patut.” Andres mencium kedua tangan Mamanya. “Iya, sayang. Mama akan mendukung kemauanmu untuk membantu teman-teman barumu itu.”
Sejak saat itu Andres sering berkunjung ke rumah pohon. Rumah pohon juga sudah sedikit berubah. Lebih banyak makanan, buku, pakaian dan mainan-mainan bagus. Itu semua berkat Andres. Hahaha... Andres meminta Mamanya menguruskan yayasan untuk mereka. Sehingga mereka bisa bersekolah dan tinggal ditempat yang lebih nyaman.
Selain itu, Andres pun semakin dekat dengan Dion dan Alfi. Mereka sudah seperti sahabat karibnya. Sahabat terbaiknya. Mereka sudah berjanji untuk bersama selamanya dan saling membantu dikala suka maupun duka.
Sampai suatu hari, Andres mendapat telepon dari Papanya di New York. Papa meminta Andres melanjutkan pendidikan SMP disana. Kata Papa Andres akan tinggal di sana sampai pendidikan selesai. Tapi juga boleh berkunjung ke Jakarta apabila ada hari libur.
Andres ingin sekali menerima tawaran Papa. Apalagi ia ingin sekali menjadi arsitek handal. Disana pasti banyak sekali tempat-tempat keren yang akan menjadi inspirasinya. Namun, disisi lain, ia sangat berat meninggalkan Dion dan Alfi. “Andres, kita akan baik-baik saja di sini. Karena ada Mamamu yang sangat menyayangi kami. Kami akan kejar paket dan melanjutkan sekolah lagi. Haha..” Dion tersenyum sambil berkaca-kaca. “Aku akan mengejar beasiswa!” Alfi berteriak sambil tertawa. Andres pun mau tak mau ikut tersenyum untuk mereka. Namun, kesedihan diantara ketiganya tak bisa disembunyikan. Air mata Andres akhirnya bobol. Alfi memeluknya. “Kamu harus menengok kami setiap liburan. Janji ya?” katanya sambil terisak-isak di jaket biru tua Andres. “Ya! Aku janji, Alfi.” Andres memeluknya balik dan mengusap air matanya. “Kalian tahu? Kalian adalah sahabatku. Kalian lah yang terbaik yang aku punya saat ini dan selamanya.”
Itulah kata-kata terakhir Andres yang diucapkan untuk kedua sahabatnya saat itu. Mereka berjanji akan saling menelpon setiap minggunya, karena sekarang Dion dan Alfi sudah mempunyai ponsel yang dibelikan oleh Mama Andres.
Dalam hati Andres yang terdalam, ia sangat bangga menjadi Andres! Andres yang sekarang. Bukan bangga dengan kekayaan keluarganya, melainkan dengan keberuntungan yang dimilikinya. Keberuntungannya saat ia bertemu dengan Dion dan Alfi. Yeah, I’m Andres! I’m very proud with my self at now and forever!... Katanya dalam hati.
--THE END --




0 Response to "My Simple Story.."

Posting Komentar