0 Comments
Diposting oleh
Alfiand's Blog ,
,
03.43
INDAHNYA BANGSAKU
Suasana di kelasku kian panas dari waktu ke waktu. Anak-anak pada mengeluh karena guru bahasa inggrisku akan mengadakan ulangan harian di jam terakhir ini. Yang membuat seluruh murid kesal adalah karena Pak Ridwan selalu mengadakan ulangan dadakan seperti hari ini.
“Gue sebel banget sama ini guru! Dari gue kelas tujuh sampai sekarang gue kelas sembilan, ini guru selalu aja ngadain ulangan harian dadakan. Apa kagak puyeng nih otak?” kata temanku, Rere. “Gue setuju sama pendapat loe, Re. Tapi masalahnya pendapat kita-kita nggak bakalan bisa bantu kita buat ngerjain soal-soal yang diberi sama Pak Ridwan.” Revi mengenduskan nafas panjang. “Udahlah, guys. Santai aja kali. Gue punya strategi bagus biar nilai kita terselamatkan hari ini.” Kataku saat berjalan kearah teman-temanku. “Loe santai banget sih ngomongnya? Emang punya rencana apaan, Ly?” tanya Faris yang juga teman se-gangku. Aku yang sedari tadi mendapat banyak pertanyaan, hanya tersenyum jail kearah teman-temanku.
Kring!
Jam istirahat yang penuh dengan rencana jailku dan teman-temanku akhirnya berakhir. Sebaliknya, jam-jam penuh dengan ketegangan akan dimulai kurang dari lima menit dari sekarang. Aku hanya duduk dengan santai di bangku nomor dua dari belakang tanpa membuka buku catatanku sedikit pun.
“Lily, loe yakin nih sama rencana kita barusan?” tanya Revi yang duduk tepat di belakangku. Aku membalikkan badan dan menghadap ke arahnya. “Revi, aku udah ngerencanain ini matang-matang, jadi aku pasti yakin dong! Loe santai aja deh, nanti kalau rencana kita gagal, gue bakalan tanggung jawab.” Kataku dengan percaya diri. Revi hanya tersenyum tipis dan kembali fokus pada buku catatannya.
Lima menit berlalu, dan Pak Ridwan mulai menginjakkan kakinya di kelas “Chocolatier”. Begitulah nama yang dipilih anak-anak kurang lebih setengah tahun lalu saat tahun ajaran baru. Mereka termasuk aku memilih nama Chocolatier karena menurut kami nama itu melambangkan anak-anak kelas kami yang manis-manis seperti cokelat. Haha.. ada-ada saja mereka, batinku.
Aku yang sedang melamun terkejut saat seseorang meneriakan namaku tepat dilubang telingaku. Hampir saja aku jatuh dari kursi, namun dengan sigap aku mengatur keseimbangan tubuhku. Ingin aku berdiri dan ingin menegur orang di hadapanku, namun saat aku melihat wajahnya, badanku langsung linglung dan terasa lemas. Ya... siapa lagi yang bisa membuat aku sebegitu takut kecuali guruku yang super galak ini, Pak Ridwan. “Eh, Pak Ridwan. Pagi, Pak.” Sapaku dengan suara pelan. “Kamu ini selalu seperti itu! Kamu tau? Saya selalu menegur kamu hampir disetiap jam pelajaran yang saya bawakan. Saya sampai bosan setiap melihat ekspresimu setiap saya menegur kamu.” Dalam hati aku berkata, saya juga bosen, Pak, ditegur sama guru kayak Bapak, yang air liurnya selalu muncrat-muncrat kewajah saya. Calm down aja kali, Pak.
Aku tidak berani menjawab teguran Pak Ridwan secara langsung, karena jadinya akan semakin panjang saja. Akhirnya aku hanya tersenyum dengan wajah tak bersalah ke arah Pak Ridwan. Beliau langsung melototiku dan pergi ke tempat duduknya.
Di bangku samping, Faris memanggilku “Ly, loe beneran masih mau ngejalanin misi kita nih? Nggak trauma loe?” gue dengan santai menjawab “Haha.. justru gue makin nafsu ngerjain ini guru. Makin nyebelin aja sih Pak Ridwan!” jawabku setengah berbisik.
Misi kami mulai berjalan. Sebenarnya aku berencana untuk menyampurkan obat tidur ke air putih Pak Ridwan di meja guru. Tentu saja dengan takaran dosis yang sedikit, karena kami khawatir akan terjadi hal buruk pada Pak Ridwan. Baru lima menit ulangan berlangsung, Rere izin ke toilet. Tak lupa ia membawa ponselnya di jaket yang ia gunakan sedari pagi. Rencananya, Rere akan menelepon Pak Ridwan dengan berpura-pura menjadi wali murid yang ingin berkonsultasi kepada Pak Ridwan mengenai kenakalan anaknya. Kami memercayakan Rere untuk melakukan itu karena hanya Rere lah yang suaranya bisa ia rubah dengan sesuka hati. Nah, setelah itu Pak Ridwan akan keluar kelas untuk menjawab telepon, dan saat itulah aku akan maju ke depan kelas dan menaruh obat tidur yang sudah kutakar sebaik mungkin ke minuman Pak Ridwan. Dan... tadaaa! Beliau akan tertidur selama kurang lebih satu jam. Disaat itulah, kami murid Chocolatier akan menyontek dan bila perlu membuka buku untuk mencari jawaban atas soal yang kami kerjakan saat ini.
Ponsel Pak Ridwan berdering dengan keras. Nada deringnya tak pernah berubah. Selalu lagu India yang beliau gunakan. Maklum saja, beliau sangat menggemari film Bollywood beserta lagu-lagunya. “Ehm, anak-anak! Saya akan mengangkat telepon sebentar saja. Kalian jangan ramai! Saya hanya di luar kelas kalian. Awas kalau ada yang menyontek!” dengan angkuh Pak Ridwan berjalan ke luar kelas. Lily and the gang mulai tersenyum jail satu sama lain.
Saat Pak Ridwan mulai terlihat serius dengan pembicaraannya ditelepon, aku mulai berlari kecil ke depan kelas dan memasukkan obat tidur yang sudah kutakar. Setelah selesai, aku berlari kembali ke tempat dudukku. Salah satu siswa berkata “Eh Ly, apa loe yakin itu guru bakalan minum air putihnya? Kalau nggak diminum gimana dong?” sementara siswa-siswa yang lain ikut mendebatkan hal itu sambil berbisik-bisik. Akhirnya Faris angkat bicara “Gimana kalau ini kelas kita bikin berdebu, jadi waktu Pak Ridwan masuk, pasti air putihnya bakalan langsung diminum.” Aku menyanggah “Em, tapi gimana caranya bikin kelas kita berdebu?” Anak-anak mulai terdiam seperti berfikir, “Aha! Gue tau! Kita pukul-pukul aja penghapus papan tulis ke seluruh bagian kelas, terutama yang di depan kelas. Gimana? Efektif banget kan? Hahaha.” dengan mata berbinar-binar Revi menjawab pertanyaanku. Akhirnya seisi kelas setuju dengan rencana Faris dan Revi. Mereka mulai memukul-mukulkan penghapus papan tulis sampai seisi kelas terlihat berdebu. Sebenarnya kami cukup tersiksa dengan keadaan ini, namun demi menyelamatkan nilai ulangan harian kami, rencana ini dilakukan juga.
Pintu kelas terbuka dan sang guru melangkah masuk. Belum lima detik, sang guru langsung batuk-batuk dan berlari ke meja guru sambil menutupi hidungnya dengan sapu tangan. “Kenapa seisi kelas bisa berdebu seperti ini?” tanya Pak Ridwan dengan lantang. “Nggak tahu, Pak. Mungkin debunya dari pembangunan kelas di sebelah.” Jawabku sebisanya. “Pak Ridwan, daripada nanti sakit, terus nggak bisa jagain kita ujian, lebih baik Bapak minum air putih dulu.” Kata Rere yang baru saja masuk kelas setelah selesai menjalankan tugasnya dengan bagus. “Ah, ya! Pintar kamu, Rere.” Langsung saja Pak guru itu meneguk habis air putih penyelamat kami. Waktu-waktu yang kami tunggu hampir tiba, namun sudah tiga menit, sang guru belum tertidur. Kami semua mulai memasang tampang gelisah dan menatap wajah Pak Ridwan. “Sedang apa kalian ini melihati saya dengan tampang seperti itu?” kami langsung membungkuk dan menatap kertas ujian kami dengan hati tak karuan. Namun tiba-tiba saja Pak Ridwan mengagetkan kami. “Eh, anak-anak. Kenapa ya saya ngantuk sekali?” sang guru mulai menggosok-gosok matanya. Tak ada jawaban dari kami. “Em, mungkin karena saya terlalu kelelahan.” Tiba-tiba saja Pak Ridwan menyandarkan tubuhnya di kursi dan juga kepalanya. Mata mulai tertutup dan beliau terlihat lelap sekali dalam tidurnya.
Hore! Kami bersorak-sorai dan mulai menyontek teman maupun melihat di buku catatan masing-masing. Satu setengah jam berlalu. Kami sudah selesai dengan pekerjaan kami. Sang guru pun terbangun. Kami langsung terdiam dan memegang pensil kami dengan sigap. Kuperhatikan Pak Ridwan mulai duduk tegap dan melihat kearah jam tangannya. Aku mengelus dada dan membatin... Untung saja ini guru nggak curiga.
Pukul dua siang, bel pulang berdering. Kami segera maju dan mengumpulkan lembar jawaban beserta soalnya dan berhamburan keluar kelas. “Yeah! Lancarkan misi bikinan gue? Hahaha.” Kataku sambil tersenyum berseri-seri kearah teman se-gangku. “Iya, iya.. Kita akuin deh, kalau loe itu top banget!” jawab Rere sambil kembali fokus kearah ponselnya. “Em, guys. Anyway, besok bakalan ada murid baru ya?” sahut Revi membelokkan pembicaraanku. “Kata siapa, Rev?” tanyaku balik. “Gue denger-denger dari murid-murid kelas delapan. Katanya sih cowok. Terus bule gitu.” Aku tak terkejut mendengar jawaban Revi. Sekolah kami memang salah satu sekolah international di Jakarta, namanya aja Menteng International High School. Siapa sih yang nggak tahu sekolah gue? Batinku didalam hati. jadi mungkin saja bule itu ingin mencari sekolah bagus di Jakarta, dan kemudian dia memilih sekolah kami.
Pagi ini kakakku membangunkan aku untuk sekolah. Aku masih malas-malasan beranjak dari tempat tidur empukku. Karena terlalu lama makan pagi, aku baru sampai di sekolah pukul tujuh lebih dua puluh menit, sedangkan bel masuk pada pukul setengah delapan pagi. Jadi aku bergegas menaiki tangga di depan laboratorium IPA dan kembali menyusuri kelas delapan, lalu menaiki tangga lantai dua lagi dan sampai di kelas Chocolatier. Teman-teman sudah banyak yang berdatangan. Aku hanya duduk di bangku kesayanganku, dan mendengarkan pembicaraan teman-temanku. Nampaknya mereka masih saja membicarakan bule cowok yang akan jadi murid baru di Menteng School. Singkatnya itulah nama panggilan yang kubuat untuk sekolahku saat ini. Karena tidak mood untuk membicarakan bule cowok itu, aku pun membuka isi tas unguku dan mengambil komik kesukaanku. Aku mulai hanyut dalam cerita didalamnya.
Anak-anak mulai berhamburan ke tempat duduk masing-masing dan mengunci mulut masing-masing. Nampaknya Pak Ridwan mulai memasuki kelas. Aku sedikit mengeluh saat melihat sang guru akan mengajarku pagi ini. Tetapi memang begitulah yang sudah terjadwalkan. Aku hanya pasrah dan mulai mengeluarkan buku catatanku. Sebelum memulai pelajaran, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kelas kami. Ternyata adalah Pak Arif, kepala sekolah kami. Setelah sedikit bercakap-cakap dengan Pak Ridwan akhirnya Pak Arif keluar kelas. Sementara Pak Ridwan berdiri di depan kelas seperti akan memberi pengumuman “Anak-anak. Hari ini Bapak ingin mengumumkan bahwa kalian kedatangan teman baru dari sekolah lain. Dia akan menempati kelas ini dan menjadi teman kalian.” Terang Pak Ridwan di depan kelas. Kemudian beliau menyuruh masuk seorang anak di balik pintu kelas.
Masuklah sesosok anak tinggi dengan pakaian rapi dan tampang yang tampan. Aku sedikit tertegun waktu melihatnya, bisa dibilang aku sedikit terpesona olehnya, namun aku cepat-cepat kembali fokus ke komik favoritku. Si bule memperkenalkan dirinya. “Selamat pagi teman-teman. Namaku Alexander Valentino Swaze. Kalian panggil saja Alex. Disini aku ingin menjadi teman baik kalian, karena aku cinta orang-orang di Indonesia yang selalu sopan dan murah senyum.” Aku sedikit tertawa mengejek saat mendengar jawabannya. Aku berbisik kearah Faris “Eh, Ris. Ini bule ketinggalan zaman banget sih. Belum tahu ya? Di Jakarta mah sopan santun udah nggak laku kali. Individualisme malahan yang ada. Dasar bule sok tahu!” Faris tertawa terbahak-bahak saat aku mengejek bule tampan itu. “Iya tuh. Ini bule sih emang tampan, tapi oon banget. Hahaha.”
Perkenalan oleh Alex pun selesai. Pak Ridwan menyuruh Alex untuk duduk disampingku. Aku yang sebenarnya agak enggan akhirnya mengiyakan saja. Jantung berdebar-debar saat berada di sampingnya. Bagaimana tidak, Alex selalu tersenyum dan mengajakku bicara disetiap waktu. Dia juga pintar sekali dalam setiap mata pelajaran. Aku heran sekali dengan kemahiran Alex, sehingga pada akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. “Em, Alex. Loe kan bule tuh. Dari Aussie lagi. Kok loe udah mahir banget ya bahasa Indonesia?” tanyaku saat kami mengerjakan soal IPA bersama di kelas. “Mahir? Benarkah? Aku hanya sangat mencintai negara Indonesia. Dan Mamaku berasal dari Medan, jadi didalam diriku sudah mengalir darah Indonesia. Mungkin seperti itu.” jawab Alex dengan santai dan lagi-lagi ia menatapku dengan mata hijaunya yang membuat jantung berdetak kencang. Aku pun kembali ke pekerjaanku tanpa memandang Alex sedikit pun. “em, Alex. Kok loe sopan banget sih jadi orang? Emangnya masih ada tuh sopan santun di luar negeri?” tanyaku sambil menulis beberapa jawaban untuk soal-soal IPA yang kukerjakan saat ini. “Lily, kan aku sudah bilang, aku cinta Indonesia dan seluruh isinya. Nah, Indonesia itu kan terkenal orang-orangnya yang sopan dan ramah. Jadi kalau aku ingin bergaul dengan orang Indonesia maka aku pun harus mempelajari kesopan santunan dan tata krama.”
Aku hanya terbengong-bengong mendengar jawaban Alex. Sementara aku dan teman-temanku selama ini tidak pernah mementingkan hal-hal itu. Bahkan mungkin kebiasaan itu sudah mulai pudar di kota Jakarta ini. Masyarakat juga semakin mementingkan individual. Sementara temanku Alex, dia sangatlah membangga-banggakan negaraku ini. Aku tidak ingin menyinggungnya dengan berkata bahwa masyarakat disini tidaklah seperti yang dibayangkan Alex maupun yang ada di iklan televisi Aussie.
Pagi ini aku bangun telat sekali. Hari ini hari Minggu, jadi aku libur sekolah. Mamaku sudah mendobrak-dobrak pintu kamarku beberapa kali. Namun aku tidak membukanya ataupun menggubrisnya. Aku terus tidur sampai pukul delapan pagi. Aku bangun dan menguncir rambut panjangku serta memcuci muka. Aku turun ke bawah dan membuat sandwich berisi keju dan sosis. Mamaku menyediakan banyak roti di rumah, karena beliau harus berangkat pagi ke kantornya setiap hari. Jadi Mamaku jarang sekali memasak makanan. Malahan hampir tidak pernah. Apalagi masakan Indonesia sudah jarang aku rasakan saat ini, karena aku tidak tahu cara memasaknya, selain itu bila Mamaku sudah pulang, dia selalu membawakan pizza atau spagetti saja. Awalnya aku sedikit mengeluh, namun lama-kelamaan aku sudah terbiasa seperti orang-orang barat di luar negeri sana.
Tiba-tiba saja bel rumahku berbunyi. Akhirnya aku memutuskan untuk membukanya walaupun aku belum mandi dan masih acak-acakan. Dan saat kubuka “Alex? Ngapain loe di sini? Kok bisa tahu rumah gue sih?” tanyaku tak henti-henti. “Aku bertanya ke Rere kemarin. Jadi aku boleh kan bermain ke rumahmu?” tanya Alex dengan logatnya yang lucu itu. “Boleh sih. Em, ya udah loe masuk aja.” Jawabku sambil menutup pintu rumah. Aku mengambilkan Alex minuman fanta dari kulkas karena aku tak bisa membuat teh atau yang lain. Awalnya Alex sedikit tertegun saat aku menyuguhkan fanta kepadanya. Namun sebelum Alex bicara, aku sudah menduluinya. “Eh, Alex, gue ke atas dulu ya. Mau mandi.” Kataku santai sambil berjalan kearah tangga.
Setelah mandi, aku kembali menemui Alex. Aku melihat fanta dimeja masih diminum sedikit. Langsung saja aku bertanya pada Alex, “Alex, sebenarnya loe itu ada perlu apa sih ke rumah gue?” tanyaku sambil melihati kukuku yang lentik. “Em, kamu belum ingat juga ya? Kita kan satu kelompok dalam tugas Bahasa Indonesia kemarin. Tugas membuat poster. Ingat?” tanya Alex balik. “Oh, iya gue lupa. Em, Lex, tapi loe itu nggak usah repot-repot kayak gini. Ntar gue aja yang ngurus masalah tugas itu. Gue bisa pesan gambaran poster itu nanti. Jadi loe nggak usah bingung-bingung ngerjainnya. Oke?” jawabku dengan santai. Sementara Alex hanya bengong tak karuan. Apalagi saat melihat cara dudukku. Saat itu aku menaruh kedua kakiku diatas sofa, sebaliknya Alex diseberang duduk dengan rapi dan terlihat sangat sopan sekali. Karena malu, aku pun menurunkan kedua kakiku tanpa melihat Alex. Karena canggung akhirnya aku angkat bicara. “Lex, mending loe pulang ya! Bukan maksud apa-apa, gue Cuma ada janji sama saudara gue buat nganterin dia ke mall. Jadi gue nggak bisa lama-lama sama loe di sini.”
Raut wajah Alex tidak menampakkan kekecewaan sedikit pun. Aku sendiri juga lega saat melihatnya. “Oke. Tapi kamu mau naik apa ke rumah saudara kamu?” tanya Alex dengan polos. “Ya naik sepeda motor lah, Alex! Mau naik apa lagi? Angkot? Ih, ogah banget gue.” Alex langsung saja menyahut, “Tapi kan bawa sepeda motor seumuran kita dilarang. Masa kamu mau melanggar peraturan sih?” Aku hanya tertawa terbahak-bahak melihat Alex yang berkata dengan lugunya. “Alex Alex, loe itu cupu banget sih? Udah deh ya, gue mau pergi. Kalau loe masih mau tetep di rumah gue, loe sama pembantu gue aja ya! Bye.” Kataku sambil mengambil kontak sepeda motorku dan juga dompet di meja. Alex masih berdiri terpaku di pintu rumahku saat aku meluncurkan motor Fu-ku dengan cepat. Aku sempat melihat raut wajahnya yang sedih. Sebenarnya aku pun tak tega membohonginya. Saat ini aku akan pergi ke rumah Faris seperti biasa. Di sana kami akan main sepuasnya dan kalau sedang bosan, kami akan menggodai orang gila yang tinggal di ujung komplek perumahaan. Dan kenapa aku tidak mau mengajak Alex? Karena menurutku dia pasti akan mencegah kami untuk bersenang-senang. Pasti dia akan menceramahi kami mengenai ciri bangsa Indonesia yang mementingkan kesopan santunan dan gotong-royong.
Jalanan cukup sepi hari ini, karena selain hari libur ini juga merupakan hari Paskah, jadi mungkin orang-orang banyak yang pergi ke gereja. Aku memperkencang laju motorku sambil mendengarkan lagu Paramore di earphone ku. Tiba-tiba saja hujan turun deras, dan aku tak membawa helm. Pandanganku sedikit kabur karena air hujan yang terus-terusan mengguyur wajahku. Naas, aku tak melihat sebuah mobil pick up di depanku. Sang pengendara pick up sudah mengklakson beberapa kali, namun aku tak bisa mendengarnya. Hal yang tidak ku inginkan terjadi juga, aku tertabrak dan terkapar di trotoar. Sementara pick up itu nyelonong saja di depanku tanpa ada bantuan.
Aku masih sempat menelpon Faris walau tanganku lecet-lecet. Namun mataku sudah kabur, terakhir kali aku hanya melihat darah kental keluar dari hidungku dan kemudian aku pingsan tak berdaya.
Aku membuka kedua mataku. Aku melihat atap putih di ruangan yang aku tempati saat ini. Ini jelas bukan kamarku. Karena di kamarku aku memberi gambar Hayley Williams, sang vocalis Paramore Band. Aku menengok ke samping dan melihat Mamaku yang tersenyum ke arahku dengan banyak air mata di wajahnya. Saat keadaanku mulai membaik, Mama menceritakan tentang orang yang membawaku ke rumah sakit dan menghubungi Mama. Dia adalah Alex, bukan Faris, Rere ataupun Revi. Aku sedikit menyesal karena tidak menggubris teguran Alex saat itu, malahan aku mengikuti teman-temanku yang jelas-jelas salah.
Setelah kejadian itulah, aku dekat dengan Alex. Dia menjadikan aku anak yang rajin dan baik. Alex juga mengajariku memasak, bukan masakan khas Aussie, tetapi malah masakan khas Indonesia. Selain itu, sekarang aku selalu bersikap sopan kepada semua guru-guruku dan juga orang-orang di sekelilingku. Aku pun tak pernah lagi bersusah payah mengerjai Pak Ridwan bila akan diadakan ulangan harian.
Semua ini berkat Tuhan yang telah mengirimkan orang sebaik Alex untuk membuka mata hatiku. Bahwa aku tak boleh melupakan budaya bangsaku. Aku harus bangga menjadi diriku sendiri dan warga negara Indonesia. Walaupun banyak sekali cobaan yang Tuhan berikan kepada negeriku, seperti kasus korupsi yang bukannya semakin berkurang malah semakin bertambah. Kata Alex, suatu saat aku pasti akan menjadi presiden negara Indonesia dengan seluruh impianku dan tak lupa budaya Indonesia yang sekarang semakin melekat didalam diriku.
Selain itu, aku juga mengajak teman-teman untuk mengenal bangsanya sendiri lebih dalam. Dan tak lupa pula selalu memberikan sentuhan budaya disetiap rangkaian kegiatan di sekolahku, sehingga pada suatu hari, sekolahku memenangkan lomba pertunjukkan bazaf antar sekolah se-Jakarta.
Terimakasih Tuhan yang sudah membuka kedua mataku. Dan juga Alex, yang selalu mengingatkanku bila aku mulai salah arah. Begitulah aku menilai Alex, dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku punya.
THE END
Diposting oleh
Alfiand's Blog ,
,
03.41
Yeah I’m Andres
Bruk!
Andres melemparkan tasnya ke lantai dan duduk di sofa. Wajahnya nampak masam. “Pokoknya Andres harus dibeliin tas baru. TITIK.” Mama menghampiri Andres dan mengelus-elus rambut merah Andres. “Sayang, tas kamu baru beli minggu lalu di New York. Ingatkan? Papa yang membelikan untukmu. Jadi menurut Mama, kamu pakai saja itu. Kalau beli-beli terus nanti mubazir.” Andres mendepak tangan Mama dirambutnya. “Apa? Nggak mau! Harus beli yang baru. Mama tahu nggak? Daniel anaknya Om Ivan yang bawahannya Papa itu, punya tas baru yang beli di Paris. Masak aku kalah sama Daniel sih, Ma?” Anak laki-laki berambut merah itu mengguncang-guncang bahu Mamanya. Namun si Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia pun berlari menuju tangga dan berteriak “Kalau Mama nggak beliin Andres tas baru... Andres mau pergi dari rumah!” Brak! Pintu kamar dibanting dengan keras.
Yaaa...
Itulah Andres. Pikir Mamanya. Andres Satria namanya. Ia bersekolah di Indonesian Smart School, Jakarta. Sekarang ia duduk di kelas enam. Andres adalah anak yang sangat manja. Begitulah pendapat teman-temannya. Selain manja, Andres sangat sombong dan suka memamerkan kekayaannya serta liburan-liburannya di luar negeri.
“Aku harus berhasil bikin hati Mama luluh!” katanya saat menghadapkan dirinya dicermin. “Sekarang aku mau ke rumah Nick saja. Mama kan tidak tahu nomor rumah Nick. Hihi..” Andres keluar kamar. Ia berjalan menyusuri tangga. Sesampainya di ruang tamu, tak ada Mama. Andres sangat kesal karena Mama tak mencegahnya. Ia berlari menuju gerbang depan. Ditoleh rumah cat putih megah yang dia bangga-banggakan itu. Namun Mama tak kunjung keluar untuk mencegahnya pergi. Andres pun berlari dan terus berlari sambil menangis. Sesampainya di halte bus, Andres menelpon Nick...
“Nick, kamu ada dirumahkan sekarang?” tanya Andres. “Iya.. ada apa, Andres?” jawab Nick dari ujung telepon disana. “Bisa kan menjemputku di halte bus dekat rumahku?” tanya Andres lagi. “Aku jemput kamu di rumahmu saja.” sahut Nick. “Jangan! Aku sedang di halte bus. Pokoknya jangan ke rumah! Ke halte bus saja.” Dengan kencang Andres menolak. “Oh, ya. OK. Tunggulah 15 menit!” kata Nick singkat.
Tut Tut Tut...... Dari ujung sana, telepon dimatikan.
Andres menunggu Nick sambil terkantuk-kantuk. Maklum, biasanya pemuda itu tidur siang setelah disuapi Mamanya. Bisa dilihatkan? Ia sangat manja. Terkadang Nick merasa kasihan dengan tante Via. Menurut Nick, tante Via bukan orang yang sombong seperti Andres. Nick saja sangat malas berteman dengan Andres. Namun tante Via meminta Nick untuk tetap menjadi teman Andres, karena di ISS (Indonesian Smart School) sudah tidak ada lagi yang mau berteman Andres. Bahkan untuk menyapa pun mereka tidak sudi. Akhirnya dengan terpaksa... Nick pun setuju.
“Eh, bangun! Kok bisa sih kamu ketiduran di halte bus? Bisa hilang kamu!” Nick mengguncang-guncang bahu Andres. “Payah! Kamu lama banget! Udah, sekarang masuk mobil saja.” Jawab Andres dengan angkuh. Dengan gontai, Nick berjalan menuju mobil merahnya. Dalam hati, Nick merasa sangat tidak dihargai. Selama ini Andres selalu memperlakukannya seperti itu. Ia ingin marah. Sangat ingin sekali. Namun ia selalu ingat pesan Mama Andres. Tapi semakin lama, Andres semakin menginjak-injak harga dirinya. Seakan semua yang dimiliki Nick adalah kepunyaan Andres.
Seperti saat ini... tiba-tiba saja Andres nyelonong masuk ke mobil Nick dan menyalakan AC serta memakai bantal mobil kesayangan Nick. Padahal ia bukan pemilik mobil itu. Kesabaran Nick sudah habis. Ia menyeret Andres keluar dari mobil.
“Eh, apa-apaan kamu?” tanya Andres melepas cengkeraman Nick. “Eh Andres! Kamu jangan sombong-sombong dong! Kamu itu bukan superhero, artis, atau pejabat! Kenapa kamu suka menginjak-injak harga diri orang lain? Aku benci kamu!” jawab Nick memberanikan diri.
“Hah? Eh, kamu beruntung ya punya teman sekaya aku. Aku juga selalu membelikan barang-barang yang kamu suka. Jadi jangan coba-coba menasehatiku!”
“Eh, kamu yang seharusnya bersyukur. Tidak ada satu orang pun yang mau bermain denganmu. Hanya aku. Dan kamu tahu kenapa aku mau main denganmu? Itu pun karena Mamamu yang menyuruhku. Sadarlah Andres! KAMU BUKAN APA-APA TANPA ORANGTUAMU! ”
Nick mendorong Andres hingga terjerembap di tanah. Mobil sedan merah milik Nick mulai berjalan dan hilang ditelan jalan.
Andres menangis. Menangis sendirian di trotoar. Ia menangis karena ucapan Nick... Eh, kamu yang seharusnya bersyukur. Tidak ada satu orang pun yang mau bermain denganmu. Hanya aku. Dan kamu tahu kenapa aku mau main denganmu? Itu pun karena Mamamu yang menyuruhku. Bersyukurlah kamu! Sadarlah Andres! KAMU BUKAN APA-APA TANPA ORANGTUAMU!... kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Andres ingin pulang dan menangis dibawah ketiak Mama. Tapi ia masih tetap gengsi dan angkuh. Ia memutuskan untuk berjalan terus. Hari semakin sore. Tapi Andres tidak ingin pulang. Ia terus berjalan dan menendangi semua batu yang menghalangi jalannya. Ia semakin lemas karena belum makan siang.
Tiba-tiba terdengar suara klakson dari arah belakang. Sebuah mobil datang dengan kecepatan diatas rata-rata dan menabrak kaki kiri Andres. Awwhhh! Andres terjatuh. Rupanya ia diserempet. Namun sopir mobil itu tidak berhenti menolongnya. Mobil itu malah berjalan terus dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Keadaan tubuh Andres semakin buruk saja. Ia lemas dan hampir pingsan karena belum makan. Namun dari arah yang sama, seorang anak laki-laki sebaya dengannya datang dan berteriak minta tolong. Saat itulah mata Andres terpejam. Kata terakhir yang didengarnya adalah Tolong! Siapapun tolong anak ini!...
Andres berdiri di tengah-tengah lapangan sekolahnya. Ia melihat teman-teman mengelilinginya. Andres ingin bangkit berdiri dan berlagak sombong didepan mereka semua. Tapi saat ia mencoba berdiri, ia terjatuh. Sepertinya kakinya diikat, begitu juga tangannya. Andres ingin protes, namun seseorang maju mendekatinya. “Sedang apa Andres? Mencoba bangun? Oh, malang sekali. Kamu tahu? Kami ingin membunuhmu. Menginjak-injak harga dirimu. Seperti ini!” Sang gadis menginjak dada Andres. Memelototinya dengan tajam. Andres menangis. “Bagaimana teman-teman? Cukupkah ini? Apa kita akan melepaskannya?” Si gadis melenggangkan kedua tangannya dipinggang dan menatap rendah ke mata Andres, layaknya seorang juara. Sementara Andres yang bertampang melas menatap semua orang. Kali ini bukan tatapan angkuhnya, melainkan tatapan memohon. Lebih tepatnya memohon untuk dibebaskan. HAHAHAHAHAHA! Semua orang tertawa bergemuruh. Salah satu dari mereka berkata “Bakar dia! Bunuh dia! Dia tidak pantas berada disini! Dia hanya pecundang! Tanpa orangtuanya, dia bukanlah apa-apa.” Yang lain meneriaki hal yang sama. Andres menangis dan berteriak Tidakk!
Tiba-tiba saja keringat bercucuran membalut wajahnya. Ia terjaga dari tidurnya. Hanya mimpi... batinnya. Saat ia melihat ke sekeliling, tidak ada satu orang pun. Tidak ada Mama, Nick atau orang lain yang dikenalnya. Bahkan ruangan itu pun Andres tidak mengenalnya. “Di mana ini?” Dengan panik Andres berusaha bangun. Namun kakinya terasa sulit digerakkan. “Jangan banyak bergerak dulu. Kakimu masih butuh banyak istirahat, bukan?” seorang anak laki-laki masuk dan membawakan teh yang nampaknya masih hangat. Andres buru-buru mundur mendekat ke dinding ruangan dan mengamati anak laki-laki didepannya. Ya... dia terlihat baik, tapi dandanannya lusuh sekali... batinnya lagi.
“Siapa namamu?” tanya Andres. “Eh, aku Dion. Kamu?” Andres menjawab “Andres Satria. Panggil saja Andres. Kenapa bisa aku berada di tempat ini bersamamu?” tanya Andres sambil memandang keluar jendela. Seperti mengamati lingkungan sekitar ia berada. “Ya... Mudah saja. Aku menolongmu saat kamu diserempet mobil. Badanmu panas. Aku membawamu ke klinik sekitar. Kamu mendapat dua jahitan. Aku menidurkanmu di sini. Ingat?” Andres hanya terbengong-bengong. “Oh... Ya. Em, mana orangtuamu?” Si anak yang ditanya hanya melongo. Lalu ia tertawa kecil. “Aku tidak punya orangtua. Inilah rumahku. Mungkin kalau kamu melihat keluar, kamu bisa tahu ini tempat apa.” Jawab Dion tersenyum dan memandang ke jendela. “Kalau begitu, bantulah aku berjalan keluar!” dengan kasar Andres memerintah Dion. Sepertinya ia masih belum jera juga. Dion membantu Andres keluar ruangan.
Saat pintu dibuka...
Matahari menerka wajah Andres yang putih. Banyak anak bertampang seperti Dion yang berlalu-lalang. Andres memutar badannya dan melihat ke sekeliling. Ditengah-tengah ada pohon besar namun tak tampak seram. Dion menjelaskan ini adalah salah satu daerah pemukiman kumuh di Jakarta. Di sekelilingnya terdapat rumah-rumah seperti rumah Dion. Terbuat dari tripleks. Andres berjalan mundur selangkah demi selangkah. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mereka tinggal sendiri? Tanpa orangtua? Mana bisa?... pikir Andres. Bruk! Tak sengaja Andres menabrak sesuatu dibelakangnya. Kelihatannya ia menabrak seorang gadis sebaya dengannya yang sedang membawa banyak buku. Sang gadis memunguti buku-buku itu sendiri. Andres hanya berdiri angkuh sambil menyilangkan kedua tangannya. Saat si gadis berdiri dan menatapnya, jantung Andres seperti mau melompat dari ketinggian 20 meter. Si gadis ternyata adalah gadis yang menginjak dadanya di mimpi! Wajah Andres pucat pasi. “Kenapa kamu? Maafkan aku sudah menabrakmu. Perkenalkan, aku Alfi.” Si gadis menyodorkan tangannya. Andres hanya bengong seperti tak menyadarinya. “Eh, oh.. Iya, Alfi. Em, aku Andres. Kamu tidak apa-apa?” Alfi tersenyum. “Ya.. seperti yang kamu lihat.” Mereka saling bertatapan lama sekali. Dalam benak Andres, ia tidak mengira bahwa Alfi akan sebaik ini dengannya, padahal di dalam mimpi Andres, Alfi sangat mengerikan. Setelah Andres dan Alfi berbincang-bincang cukup banyak, Dion memanggil mereka untuk makan malam.
Andres masuk ke kamar Dion. Sementara yang lainnya masih mengobrol diluar. Andres merasa kasihan kepada kehidupan mereka. Ya... sebenarnya tidak seratus persen kasihan. Lebih tepatnya, antara kasihan dan takjub. Apalagi setelah Dion dan Alfi menceritakan kepadanya bahwa mereka sudah menjalani kehidupan seperti ini selama satu tahun. Mereka tidak bersekolah. Mereka mencari buku-buku asongan atau kertas-kertas yang masih berisi pengetahuan untuk belajar. Saat Andres bertanya “Apa kalian punya video game atau mobil dan remote control?” semua orang langsung tertawa terbahak-bahak. “Kamu polos sekali, Andres. Kita hanya punya mainan tradisional. Atau boneka usang. Haha..” jawab Alfi dengan santai.
Sampai malam ini, Andres masih memikirkan jawaban Alfi. Tiba-tiba saja ia teringat dengan mainan-mainan yang tadi siang dibawanya dari rumah. Andres segera membuka isi tasnya dan mengeluarkan semua mainan itu. Ia membawanya keluar rumah. “Hei, semuanya! Aku punya mainan untuk kalian! Ini akan sangat seru!” Andres beraksi di tengah-tengah kerumunan orang dan memainkan mobil-mobilan dengan remote controlnya. Mobil kecil itu melesat diantara kaki-kaki yang berjejeran mengelilingi Andres. Semua orang bertepuk tangan. Sampai larut ia mengajari teman-teman barunya bermain mobil remote control ataupun merangkai robot.
Puff! Andres berbaring ditempat tidurnya. Menatap langit-langit. Entah kenapa ia merasa sangat senang. Ia tidak pernah sebahagia ini dnegan teman-temannya. Andres memejamkan matanya sambil mengingat-ingat senyum dan tawa riang semua orang saat mereka bermain bersama. Ia pun terlelap.
Matahari menerawang lewat luar jendela. Ia segera melirik jam tangannya. Setengah tujuh. harus segera pulang!... pikirnya. Ia melangkah keluar dan membasuh muka di keran air. Tidak ada orang. Kenapa sepi sekali? Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilnya. “Andres! Kamu sudah bangun? Aku diatas sini. Kemarilah!” suara Dion. Ternyata semua orang berada di atas pohon. Itu bukan pohon biasa. Itu adalah rumah pohon. Sekitar sembilan anak berada diatas sana. Mungkin yang lainnya masih tidur.
Andres naik ke atas pohon dengan susah payah. Maklum, ia anak kota yang manja dan tidak suka kotor. “Sedang apa kalian disini?” Andres memandang ke bawah. Tidak terlalu tinggi sepertinya... pikir Andres. “Ini tempat kami belajar. Kami belajar dari pukul enam sampai sembilan pagi.” jelas Dion. “Oh, lalu?” Andres melihati satu per satu buku yang sedang dibaca semua orang di rumah pohon. “Bekerja. Mengamen.” Dengan santai Alfi mengucapkannya. Andres terdiam. Tidak punya pertanyaan. Hanya mengedip-edipkan kedua matanya. Salah satu anak memecah keheningan. “Aku mau membeli sepatu dan buku baru. Mungkin dua kali ngamen lagi, aku akan mendapatkan cukup uang untuk membelinya. Hehe...” semuanya tertawa dan melanjutkan membaca. Andres duduk diujung pohon. Ia ingat saat ia merengek-rengek ke Mama untuk minta tas baru. Air matanya menetes. Ia ingat Mamanya. “Kamu nggak sekolah, eh?” Alfi duduk disamping Andres. Andres memalingkan muka dan mengusap air matanya. “Sebentar lagi aku pulang. Aku sekolah jam delapan pagi.” Alfi mengangguk dan melanjutkan membacanya di tempat semula. Andres menghampiri Dion di pojok. “Eh, bisa antar aku ke tempat kamu menemukanku waktu aku jatuh pingsan?” Dion memandangi cukup lama. “Ya, bisa. Kamu mau pulang?” wajah Dion seperti kecewa. “Iya, Dion. Aku harus sekolah. Kapan-kapan aku akan berkunjung kesini. Pakai saja mainanku untuk teman-temanmu.”
Dion dan Andres berpisah di jalan Semanggi. Andres bergegas pulang. Dari taman depan ia mendengar suara Mama menangis. “Ehm... Assalamu’alaikum. Aku pulang.” Andres bertampang biasa seperti tidak terjadi apa-apa. “Andres! Kamu ke mana saja? Di rumah Nick tidak ada. Di rumah yang lain pun juga tidak ada.”
Akhirnya Andres menceritakan semuanya kepada Mama. Ia sangat ingin membantu teman-temannya di rumah pohon. Begitulah Andres menyebutnya. Ia ingin meminjamkan buku-buku koleksi miliknya untuk Dion dan semuanya disana. “Ma, Andres minta maaf ya! Andres sayang sekali sama Mama. Andres nggak akan mengecewakan Mama lagi. Andres sadar kalau perbuatan Andres sangat tidak patut.” Andres mencium kedua tangan Mamanya. “Iya, sayang. Mama akan mendukung kemauanmu untuk membantu teman-teman barumu itu.”
Sejak saat itu Andres sering berkunjung ke rumah pohon. Rumah pohon juga sudah sedikit berubah. Lebih banyak makanan, buku, pakaian dan mainan-mainan bagus. Itu semua berkat Andres. Hahaha... Andres meminta Mamanya menguruskan yayasan untuk mereka. Sehingga mereka bisa bersekolah dan tinggal ditempat yang lebih nyaman.
Selain itu, Andres pun semakin dekat dengan Dion dan Alfi. Mereka sudah seperti sahabat karibnya. Sahabat terbaiknya. Mereka sudah berjanji untuk bersama selamanya dan saling membantu dikala suka maupun duka.
Sampai suatu hari, Andres mendapat telepon dari Papanya di New York. Papa meminta Andres melanjutkan pendidikan SMP disana. Kata Papa Andres akan tinggal di sana sampai pendidikan selesai. Tapi juga boleh berkunjung ke Jakarta apabila ada hari libur.
Andres ingin sekali menerima tawaran Papa. Apalagi ia ingin sekali menjadi arsitek handal. Disana pasti banyak sekali tempat-tempat keren yang akan menjadi inspirasinya. Namun, disisi lain, ia sangat berat meninggalkan Dion dan Alfi. “Andres, kita akan baik-baik saja di sini. Karena ada Mamamu yang sangat menyayangi kami. Kami akan kejar paket dan melanjutkan sekolah lagi. Haha..” Dion tersenyum sambil berkaca-kaca. “Aku akan mengejar beasiswa!” Alfi berteriak sambil tertawa. Andres pun mau tak mau ikut tersenyum untuk mereka. Namun, kesedihan diantara ketiganya tak bisa disembunyikan. Air mata Andres akhirnya bobol. Alfi memeluknya. “Kamu harus menengok kami setiap liburan. Janji ya?” katanya sambil terisak-isak di jaket biru tua Andres. “Ya! Aku janji, Alfi.” Andres memeluknya balik dan mengusap air matanya. “Kalian tahu? Kalian adalah sahabatku. Kalian lah yang terbaik yang aku punya saat ini dan selamanya.”
Itulah kata-kata terakhir Andres yang diucapkan untuk kedua sahabatnya saat itu. Mereka berjanji akan saling menelpon setiap minggunya, karena sekarang Dion dan Alfi sudah mempunyai ponsel yang dibelikan oleh Mama Andres.
Dalam hati Andres yang terdalam, ia sangat bangga menjadi Andres! Andres yang sekarang. Bukan bangga dengan kekayaan keluarganya, melainkan dengan keberuntungan yang dimilikinya. Keberuntungannya saat ia bertemu dengan Dion dan Alfi. Yeah, I’m Andres! I’m very proud with my self at now and forever!... Katanya dalam hati.
--THE END --
Diposting oleh
Alfiand's Blog ,
,
03.30
Nama asli: Joseph Adam Jonas
Posisi : Lead Vocal, tambourine, sometimes playing guitar
Tanggal lahir : August 15, 1989 (umur 19)
Tempat lahir : Casa Grande, Arizona, USA
Anak kedua dari keluarga Jonas
Nickname: Joe, Danger, Princess Ponemaster (dari anak2 perkumpulan), Mr. Sexybutt (nickname dr TS)
Tinggi : 173 cm
Rambut : Black, agak sedikit ikal, kadang dilurusin
Mata: Light Brown
Koleksi: G.I. Joe action figures & pens
Hobi : Foto norak, bikin video youtube
Cita2 : Pelawak
Sebelum jadi Jonas Brothers: sekolah ; main Musical di Broadway
Keahlian khusus : Split diatas panggung
Langganan:
Postingan (Atom)